Yogya Batal Lockdown, Sultan Akui tak Kuat Biayai Warga

Hanya selang beberapa hari, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X berbeda pernyataan soal karantina wilayah atau lockdown. Jika pada Jumat pekan lalu, Sultan seperti memberikan isyarat akan me-lockdown Yogyakarta, awal pekan ini sikapnya berbeda.

Pada Jumat (18/6) lalu, Sultan menilai, penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro tidak berjalan efektif di masyarakat. Padahal, PPKM mikro ini mengatur pencegahan Covid-19 mulai dari tingkat terbawah yakni tingkat RT/RW.

“Satu-satunya cara ya lockdown, kita kan sudah bicara PPKM mikro, kan sudah bicara penanganan (mulai) di RT/RW, padukuhan. Kalau itu pun gagal dan mobilitasnya seperti ini, mau apalagi ya lockdown,” kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Jumat (18/6).

Sultan menuturkan, lonjakan kasus yang terjadi di DIY disumbang oleh tidak disiplinnya masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Sehingga, penerapan lockdown dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mengontrol penyebaran Covid-19 yang semakin meluas di DIY.

Namun pada Senin (21/6), Sri Sultan mengatakan, pihaknya tidak akan menerapkan lockdown total. Meskipun, kasus positif Covid-19 di DIY dalam beberapa hari terakhir mencapai lebih dari 500 bahkan 600 kasus yang dilaporkan per harinya.

“Tidak ada lockdown, itu pilihan terakhir,” kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (21/6).

Dengan diberlakukannya lockdown, kata Sultan, banyak yang akan terdampak yang salah satunya penutupan kegiatan usaha. Sementara, APBD DIY dinilai tidak mampu untuk membayar ganti rugi bagi kegiatan usaha yang ditutup jika diberlakukannya lockdown.

“Saya sudah bilang kemarin, lockdown tapi pemerintah tidak akan kuat. Karena pengertian lockdown itu totally closed, orang jualan tidak ada, yang buka hanya apotek sama supermarket, yang lain tutup. pemerintah ganti duit untuk masyarakat makan, kan kita tidak kuat,” ujarnya.

Pihaknya masih tetap menerapkan PPKM berbasis mikro. Namun, pengaturan kegiatan dan mobilitas masyarakat lebih diperketat sesuai dengan Instruksi Gubernur (Ingub) dengan Nomor 15/INSTR/2021 terkait perpanjangan PPKM mikro yang dikeluarkan pada 15 Juni lalu.

“Keputusan kan tanggal 15 (saat diperpanjangnya) PPKM, di mana konsekuensinya jangan mudah mengatakan lockdown,” jelas Sultan.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, ditetapkannya lockdown maupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bukan kewenangan pemerintah daerah. Namun, kewenangannya ada di pemerintah pusat.

Namun, kata Aji, pemerintah daerah hanya bisa mengusulkan ke pemerintah pusat jika ingin mengambil opsi lockdown ataupun PSBB. Hal ini disampaikan Aji setelah disampaikannya opsi lockdown oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam rangka menekan lonjakan kasus Covid-19 di DIY beberapa waktu lalu.

“Daerah tidak bisa menentukan PSBB, PSBB ditentukan pusat. Kalau statement Sultan soal lockdown itu harus dibaca lengkap oleh teman-teman, kalau misalnya tidak ada jalan keluar lain ya satu-satunya adalah PSBB, tapi kita usul, penentuan tetap dari pusat,” kata Aji di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (22/6).

Aji menyebut, statement Sultan terkait lockdown merupakan usulan jika semua upaya penanganan Covid-19 yang sudah dilakukan tidak efektif di masyarakat. “Sekarang sudah kita upayakan mulai dari PPKM (mikro), lalu bentuk satlinmas di tingkat RT/RW, satgas di RT/RW, semua sudah dilakukan, itu sebetulnya harapannya kita sudah menurunkan kasus. Lalu ada pertanyaan dari teman-teman (wartawan) kalau itu tidak bisa gimana, ya paling kita usul lockdown,” jelas Aji. 

Terkait pembiayaan jika diberlakukannya lockdown maupun PSBB, juga dari pemerintah pusat. Pasalnya, saat diberlakukannya lockdown maupun PSBB ini mengakibatkan kegiatan perekonomian masyarakat tidak bergerak.

“PSBB itu semuanya dibiayai karena dia tidak boleh bergerak sama sekali, itu ketentuan ada di pusat, bukan daerah,” ujarnya.

Sumber : KOMPASTV, Republika

Loading

You cannot copy content of this page