Kisah TKI yang Bekerja 24 Jam dengan Sistem Kafala di Saudi, Ada yang Ingin Bunuh Diri!

Pemerintah Arab Saudi berencana mereformasi kebijakan sistem kafala, namun, aktivis buruh migran menilai rencana ini akan percuma bila tak menyentuh sektor pekerja domestik yang digambarkan sebagai “mempertahankan perbudakan”.

Sejumlah buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor rumah tangga masih mendapat pelecehan dan eksploitasi, memilih kabur dan hidup terkatung-katung di negara dengan sistem hukum syariah Islam ini.

Ilustrasi perbudakan.
foto : Kompas

Sementara itu, pemerintah Indonesia mengatakan telah bekerja sama dengan Arab Saudi untuk menghapus sistem kafala, tapi penerapannya dihentikan sementara karena pandemi virus corona.

Syifa—bukan nama sebenarnya—sudah hidup terkatung-katung selama sembilan bulan di Arab Saudi. Ia sudah berpindah-pindah kota, dari Dammam, Riyadh, hingga Jeddah setelah melarikan dari majikan.

Warga Tangerang, Banten, ini kabur dari majikan karena setiap hari “bekerja 24 jam” sebagai pekerja rumah tangga dan mengaku telah mengalami pelecehan seksual.

Ibu dua anak ini tiba di Arab Saudi pada Maret 2020, saat virus corona mulai menjadi pandemi. Pertama ia bekerja di Kota Dammam selama tiga bulan. “Kalau kerja kan kerja 24 jam, kita enggak boleh santai-santai,” kata Syifa pada hari Senin (9/11/2020).

Lantaran kerja dengan jam yang tak menentu sebagai pekerja rumah tangga, Syifa melarikan diri dari majikannya menuju Riyadh. Di kota ini ia sempat bekerja sebagai pekerja rumah tangga selama hampir tiga bulan.

Namun, di sinilah Syifa mengaku mengalami pelecehan seksual dari keluarga majikan yang baru. “Waktu ada pelecehan seksual waktu kerja di Riyadh… Yang buat saya trauma mau kerja lagi. Saya ingat keluarga di Indonesia, makanya ingin cepat-cepat pulang,” kata Syifa. Setelah peristiwa itu, ia kabur lagi.

Saat ini Syifa tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama sejumlah temannya di Kota Jeddah. Semua temannya adalah pelarian. Ia mengaku sudah kapok kerja di Arab Saudi.

“Saya kalau sudah di Indonesia, mau cari kerjaan lagi juga gampang. Walaupun gaji kecil yang penting bisa ketemu keluarga tiap hari. Bisa bantu suami. Suami saya kan nelayan di sana,” katanya.

Tapi untuk pulang ke Indonesia, kata Syifa, belum jelas kapan karena dirinya berstatus TKI ilegal tanpa visa.

Pengalaman pahit bekerja di Arab Saudi juga pernah dihadapi Siti Aminah. Berbeda dengan Syifa, perempuan berusia 34 tahun ini bisa segera kembali ke Indonesia setelah bekerja satu bulan sebagai pekerja rumah tangga—meskipun kontrak kerjanya selama dua tahun.

Selama bekerja satu bulan, Siti mengaku tak diberi izin untuk menggunakan telepon genggam, bepergian, dan menggunakan hak istirahat dan libur. “Kerja dari jam 5 pagi sampai jam 10 malam,” katanya pada hari Senin (9/11/2020).

Salah satu buruh migran yang diduga mendapat kekerasan dan mendapat pendampingan dari SBMI. Sulasih antara lain memiliki luka bekas setrika di kedua tangan.
foto : Kompas

Siti menyebut rumah majikannya sangat luas dengan dua lantai. “Kamarnya ada lima. Terus ruang tamunya juga ada empat. Ada ruang pertemuan. WC-nya ada delapan. Dapurnya luas. Tiap hari itu harus dibersihkan, disikat semua,” katanya.

Siti juga mengaku sering mendapat makian dari majikan di saat bekerja. “Dia marah, kadang melotot, termasuk (kekerasan) verbal,” katanya.

Warga Kota Palembang, Sumatera Selatan, ini bisa keluar dari tempat kerjanya berkat ponsel yang ia bawa dan sembunyikan dari majikan. Dari situ, ia mencari sejumlah bantuan, termasuk dari lembaga pemerhati buruh migran, Migrant Care.

Setelah berkomunikasi lewat media sosial dengan Migrant Care, agen perusahaan tenaga kerja yang mengirim Siti segera menariknya dari Arab Saudi ke Indonesia.

“Saya kapok. Enggak mau lagi,” katanya. Menurut sejumlah kolega Siti di Arab Saudi, majikannya itu masih masuk ‘kategori baik’.

“Tapi bagi saya itu (tidak baik), karena tidak terbiasa,” katanya. “Saya bilang baik-baik, kalau saya tidak bisa pulang, saya mau bunuh diri saja, saya tidak bisa menjalani ini dua tahun. Saya di sana sampai mimisan hidung saya. Enggak ada penanganan. Katanya mimisan itu biasa,” kata Siti.

Siti dan Syifa adalah sebagian dari buruh migran Indonesia yang telah mengalami masa-masa berat di Arab Saudi. Mereka bekerja dengan sistem kafala yang membuat majikan berkuasa penuh atas pergerakan mereka.

Menurut laporan lembaga internasional Migrant Forum in Asia, sistem Kafala membuat para pekerja migran secara hukum terikat pada pemberi kerja atau sponsor individu/majikan (kafeel) untuk periode kontrak mereka.

Karena terikat kontrak, pekerja migran tak bisa memasuki negara, pindah kerja, atau meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa izin tertulis dari kafeel.

Sistem ini muncul pada era 1950-an yang mengatur hubungan antara majikan dan pekerja di banyak negara Asia Barat. Praktik yang dilakukan negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di antaranya Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, dan juga di negara-negara Arab di Yordania dan Lebanon.

Tujuan awal dari sistem kerja ini, menyediakan tenaga kerja sementara dengan cepat ketika ekonomi negara memuncak, dan mengeluarkan mereka ketika ekonomi sedang lesu. Sejumlah negara seperti Qatar telah menghapuskan “sistem yang mengekang” ini, meski tetap mendapat sorotan dari aktivis HAM karena tidak turut menghilangkan sistem dasarnya.

Awal November 2020, Pemerintah Arab Saudi berencana mereformasi kebijakan sistem kafala. Menteri Sumber Daya Manusia Arab Saudi mengatakan, Inisiatif Reformasi Tenaga Kerja akan diterapkan kepada semua pekerja asing di sektor swasta dan akan berlaku Maret 2021.

Para pekerja tersebut tidak lagi diminta memperoleh izin majikan untuk pergi atau berganti pekerjaan. Mereka juga bakal diperbolehkan bepergian ke luar negeri tanpa perlu mendapatkan izin majikan.

Mereka pun bisa melamar pekerjaan secara langsung ke layanan pemerintah, dan kontrak dengan majikan akan didokumentasikan secara digital. “Melalui prakarsa ini, kami bertujuan untuk membangun sebuah pasar tenaga kerja yang menarik, dan meningkatkan lingkungan kerja,” kata Wakil Menteri Abdullah bin Nasser Abuthunain kepada wartawan di Riyadh.

Wakil Menteri Abdullah Abuthunain mengatakan Arab Saudi ingin membangun pasar tenaga kerja yang menarik.
foto : Kompas

Sementara itu, pemerintah Indonesia telah menyepakati kerja sama bilateral dengan Arab Saudi terkait reformasi sistem kafala. Pada 2018, Indonesia dan Arab Saudi melakukan percobaan untuk mengubah tata cara penempatan buruh migran.

Uji coba dilakukan dengan evaluasi per tiga bulan di Jeddah, Madinah, Riyadh, dan wilayah timur, yaitu Damam, Qobar, dan Dahran. Pekerjaan domestik yang dibuka untuk uji coba antara lain adalah pengasuh bayi, juru masak keluarga, pengasuh lansia, supir keluarga, pengasuh anak, dan pembersih rumah.

Dalam perjanjian ini, kontrak kerja antara buruh migran tidak lagi langsung dengan perorangan/majikan (kafeel), tapi diubah menjadi dengan perusahaan yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah Arab Saudi (sistem syarikah). Per Oktober 2019 pemerintah Indonesia menunjuk 36 perusahaan syarikah.

Sumber : BBC News Indonesia

Loading

You cannot copy content of this page