Wah! WNI Asal Semarang Buka Warkop di Swiss, Pelanggan Ikut Belajar Bahasa Indonesia

Di mana kopi diseduh, di sana ada persahabatan. Ucapan Abdul Kadir Ansari, syekh Arab Saudi di abad 16 ini, agaknya pas dialamatkan ke Omnia Coffee, kedai kopi di Stauffacherstrasse 105, Zurich, Swiss.

Paling tidak, ketika Kompas.com memasuki kedai kopi di kawasan Helvetiaplatz ini, tidak hanya secangkir kopi yang sampai di tangan konsumennya, tapi juga kehangatan antara barista dan pelanggannya.

Martin Ponti, laki-laki asal Swiss yang 20 tahun mendalami Kopi Indonesia, sedang meracik Cappucino di kedainya. Bersama Alista dan Adam Ponti, dia mendirikan warkop Indonesia pertama di Zurich, Swiss, yang dia beri nama Omnia Coffee.
foto : Kompas

Pelanggan Omnia, setelah membayar cappuccino-nya, tidak serta merta bergegas meninggalkan kedai kopi tersebut. Tapi ada yang memulai percakapan ringan. Tentang cuaca, tentang kopi, tentang Indonesia.

“Yang datang kemari, bukan sekadar ingin ngopi. Tapi juga ingin tahu, bagaimana kopi hangat ini sampai di tangannya,“ tutur Alista Oksanti ketika ditemui Kompas.com.

Kopi yang diseduh Alista, bukan sekadar kopi biasa. Memang jenis robusta atau arabika. “Namun semua dari Indonesia, di-roasted-nya juga di sana,“ imbuh wanita asal Semarang ini.

Alista lalu menunjukkan beberapa bungkus kopi dari Bali, Toraja, Sumatera hingga Flores. “Konsumen bisa memilih cappucino atau cafe latte, tapi bahan dasar kopinya tetap dari Nusantara,“ akunya.

Dari asal muasal kopi ini, imbuh Alisa, percakapan antara barista dan pelanggannya, mengalir lancar.

“Saya sampai terharu, kalau ada orang Swiss yang bersusah payah berbicara dengan bahasa Indonesia,“ tutur Alista.

Tidak jarang, ada pelanggan yang lancar bahasa Indonesia. Omnia Coffee memang didisain untuk itu. Dari kopi, percakapan dimulai. Jika akhirnya merambah jauh di luar perkopian, namun biasanya tetap mengarah ke Indonesia.

“Barista tidak hanya dituntut menyajikan kopi dengan kualitas terbaik, namun juga bisa menceritakan asal muasal secangkir kopi hangat di tangan pelanggan,“ kata Alista.

Omnia Coffee memenuhi syarat untuk menjadi kedai dengan kisah kopi kopinya. Martin Ponti, pria Swiss penggagas kedai ini, 20 tahun bergulat dengan perkopian di Indonesia.

Bukan hanya bahasa Indonesianya yang lancar, namun seluk beluk kopi Indonesia, suami Alista ini hapal luar dalam. “Saya pernah bekerja di perusahaan kopi di Indonesia, bagian quality control,“ katanya.

Martin menyandang ahli kopi bersertikasi Q Grade Expert, ahli kopi paling tinggi kastanya. “Swiss mampu menciptakan mesin kopi kelas dunia, namun umumnya mereka meminum kopi dari mesin full otomatis,“ kata Martin.

Tinggal tekan satu tombol, tak sampai semenit, sudah ada secangkir cappucino atau espresso. “Kalau di Indonesia tiap rumah punya rice cooker, di Swiss punya mesin kopi,“ kata Martin.
Agar kenikmatan sejati minum kopi bisa diresapi, kata Martin, semua bahan harus diracik seksama.

“Kehangatan susunya harus pas. Begitu juga takaran kopinya,“ imbuhnya. Di kedai kopi ini, Martin menimbang setiap serbuk kopi yang baru saya digerus, sebelum diseduh air panas. Kehangatan susu yang terukur, kata Martin, bisa menciptakan cappucino yang memandarkan rasa manis, meskipun tanpa gula.

“Memang mesin kopi yang ada di rumah rumah Swiss sekarang sudah bagus, semua sudah diukur otomatis. Namun kalau mau optimal ya harus tahu bagaimana meraciknya,“ kata Martin.

Jika ada pelanggan yang ingin tahu lebih mendalam tentang peracikan kopi, Martin menawarkan ilmunya. “Saya akan memberikan kursus dari penikmati kopi amatiran, sampai menjaid barista profesional,“ katanya.

Mulai dari mesin roasting kopi, hinggah memasuki tahap akhir menjadi secangkir kopi, Martin sudah menyiapkannya. “Saya bahkan membawa alat roasting kopi buatan Bali. Jadi bukan hanya kopinya dari Indonesia, tapi alat roastingnya juga,“ katanya.

Pandemi Covid-19 tidak terkecuali juga menimpa warkop Omnia. Tidak jarang, perbincangan antara barista dan pelanggannya, tidak bisa berlangsung lama. “Kami hanya bisa menerapkan coffee to go,“ kata Alista.

Martin, Alista dan Adam Ponti merintis Kedai Kopi Indonesia Pertama Kali di Zurich, Swiss, yang kemudian diberi nama Omnia Coffee.
foto : Kompas

Pelanggan yang datang, jika pun ingin berbincang bincang tidak bisa terlalu lama. Di mana saja, setidaknya di Swiss, jika ada resto atau cafe yang buka, hanya bisa melayani take away. “Begitu juga disini, hanya bisa pesan dan dinikmati di luar,“ kata Alista.

Produk kuliner Indonesia di Swiss, khususnya di bidang gastronomi, sepanjang catatan Kompas.com, kurang begitu berhasil. Beberapa resto sempat berdiri namun kemudian bangkrut. Jika pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Bisnis restoran dan sejenisnya bukan hal mudah di Swiss. Apalagi sekarang ini ada lockdown,“ kata Alista.

Namun melihat perkembangan Omnia Coffe setelah dibuka tiga mingguan ini, masih kata Alista, dirinya mengaku tidak begitu khawatir.

Latar belakang dan pengalaman kerja di berbagai hotel bintang lima di Jakarta, membuatnya optimistis Omnia Coffee berjalan sesuai harapan.

Sumber : bintang jatuh stories, kompas

Loading

You cannot copy content of this page