Beromzet Miliaran Rupiah, Polisi Bongkar Penjualan Rapid Test Antigen Ilegal di Semarang

Kasus dugaan penjualan alat rapid test antigen ilegal di Kecamatan Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah, diungkap oleh polisi.

Awalnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Jawa Tengah mendapat informasi maraknya penjualan alat kesehatan berupa rapid test antigen merek Clungene di wilayah Jawa Tengah.

Dari informasi yang didapat, transaksi penjualan alat itu dilakukan di Jalan Cemara III, No.3, Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.

Ditreskrimsus Polda Jateng kemudian berupaya menyelidiki dengan cara menyamar sebagai  pembeli.

Setelah bertransaksi, polisi yang menyamar itu mendapati dua orang kurir yakni PRS dan PF membawa 25 boks alat rapid test antigen ilegal merek Clungene dan tiga boks merek Speedcheck.

Kasubdit I Indagsi Ditreskrimsus Polda Jateng AKBP Asep Mauludin bersama tim Unit I subdit I mendatangi rumah milik SPM yang dijadikan gudang alat rapid test antigen ilegal di Jalan Perak, No.9 Kwaron 2 Bangetayu, Semarang.

Petugas kepolisian pun menangkap SPM yang merupakan karyawan dari PT. SSP di Jalan Paradise Sunter, Jakarta Utara.

Saat ditanya, SPM (34) yang telah ditetapkan tersangka mengaku nekat menjual alat kesehatan tanpa izin edar karena tergiur keuntungan besar. Ia mengaku sedang mengusulkan proses perizinan.

“Sedang mengurus (izin). Ini karena keuntungan. Sudah jual 20 karton,” ujarnya saat gelar perkara di kantor Ditreskrimsus Polda Jateng, Rabu (5/5/2021).

Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Lutfi, mengatakan dari hasil penjualan produknya selama lima bulan, pelaku bisa meraup keuntungan sebesar Rp 2,8 miliar. Untuk itu, Polda Jawa Tengah akan menindak tegas pelaku kejahatan yang sudah merugikan kesehatan masyarakat.

“Tentu perbandingannya lebih murah karena tidak punya izin edar. Dan ini sangat merugikan terkait dengan perlindungan konsumen ancaman hukuman bisa lima tahun. Tapi kalau UU kesehatan ancaman bisa 15 tahun dan denda sampai Rp 1,5 miliar,” tegas Lutfi.

Lutfi meminta agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan harga alat tes cepat yang lebih murah.

“Dampaknya sangat terasa sekali. Satu, kalau tidak ada izin edar jangan-jangan dipalsukan. Kedua, jangan-jangan terkait dengan kualifikasi kesehatan tidak memenuhi syarat. Makanya ini harus kita amankan,” ujarnya.

Selain disalurkan ke pembeli secara perseorangan, rapid test antigen ilegal itu juga diedarkan ke sejumlah klinik dan rumah sakit sepanjang Oktober 2020 hingga Februari 2021.

Dalam waktu satu sampai dua pekan, pelaku bisa menjual sebanyak 300-400 boks rapid test antigen.

“Diedarkan di wilayah Jateng, di masyarakat umum biasa, klinik dan rumah sakit. Ini sudah merugikan tatanan kesehatan,” imbuhnya.

Direktur Reserse Kriminalisasi Khusus Polda Jateng, Kombes Johanson Ronald Simamora, menambahkan pelaku merupakan distributor dan sales wilayah Jawa Tengah. Kantor pusat yang mendistribusikan barang-barang tersebut ke Jateng berada di Jakarta.

“Dia distributor, sales, mencari pasar. Ada pasar dia menghubungi Jakarta kemudian didistribusikan ke sini. Wilayah Jateng ada Pekalongan, Semarang dan luar daerah,” ungkapnya.

Pihaknya akan menetapkan pimpinan perusahaan di Jakarta sebagai tersangka dalam pengungkapan penjualan rapid test antigen ilegal tersebut.

“Kemungkinan rencana Dirut akan tetapkan jadi tersangka. Kita betul-betul concern pada masalah alkes,” ujarnya.

Atas kasus tersebut, terangka dijerat Pasal 197 Undang-undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam Pasal 60 angka 10 UU Cipta Kerja dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda 1,5 miliar.

Kemudian, UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijerat dengan pasal 62 ayat 1 dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.

Polisi mengamankan barang bukti berupa 245 boks merek Clungene, 121 boks merek Hightop, 10 boks jenis saliva dan 3 boks merek Speedchek.

Selain itu ada juga alat lain yang tidak memiliki izin edar berupa 3 buah pulse oximeter, 2 buah oximeter IP22, dan 59 pack masing-masing berisi 100 pcs stik swab.

Sumber : detikcom, metrotvnews, Kompas

Loading

You cannot copy content of this page