TKI dan Pekerja Migran di Sektor Informal Turun ke Jalan, Tuntut Kenaikan Gaji dan Hari Libur!

Aksi unjuk rasa dilaporkan dilakukan oleh para pekerja migran yang bekerja di sektor informal di negeri Formosa pada hari Minggu (13/12/2020).

foto : CNANews

Para pekerja migran di sektor informal bersama LSM pembela hak-hak buruh migran di Taiwan pada hari Minggu kemarin (13/12/2020) mengadakan konferensi pers di depan Legislatif Yuan Taiwan.

Dalam kesempatan itu, mereka meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Taiwan dapat disahkan dan masuk ke dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan di Taiwan.

Para perawat, pengasuh migran dan pekerja rumah tangga informal yang berasal dari Filipina, Indonesia, dan Vietnam bersama LSM terkait berkumpul di Legislatif Yuan Taiwan, untuk menggelar aksi unjuk rasa.

Sembari memegang plakat, poster, dan spanduk, mereka menyerukan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para pekerja migran yang bekerja di sektor informal.

Adapun tuntutan yang disampaikan antara lain masuk dalam peraturan upah minimum yang berlaku di Taiwan dan mendapatkan jatah libur 2 hari per minggu.

Dalam aksi unjuk rasa itu para perawat, pengasuh migran dan pekerja rumah tangga informal meneriakkan “berikan perlindungan hukum bagi PRT migran!”

Dalam berbagai poster yang diusung juga memperlihatkan seruan mengenai “PRT Migran bukan mesin” atau “kami bukan 7-11.”

Saat diwawancarai oleh media lokal Taiwan, seorang pekerja asing asal Filipina yang bernama Jasmine yang telah bekerja di Taiwan selama 6 tahun mengatakan bahwa pekerjaannya membersihkan kotoran dari pasiennya yakni seorang lansia yang mengalami inkontinensia kandung kemih dan usus.

Jasmine mengaku dalam sehari ia harus membersihkan kotoran pasien sebanyak 3 hingga 10 kali. Selain itu, ia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan oleh majikannya.

Dalam orasinya, tanpa perlindungan hukum, PRT yang mengalami sakit fisik dan mental akibat pekerjaan seringkali ditelantarkan oleh para majikan dan agen tenaga kerja.

Oleh karena itu RUU PRT Migran dapat menjadi sebuah jaminan yang memberikan keamanan bagi para perawat migran yang bekerja di Taiwan.

Sementara itu, seorang perawat migran asal Indonesia yang diidentifikasi sebagai Feni, yang sudah bekerja di Taiwan sejak 3 tahun lalu mengatakan bahwa dirinya hanya mendapatkan sedikit istirahat sebab harus melakukan pekerjaan rumah tangga di siang hari dan mengurus lansia di malam hari.

Berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Taiwan saat ini, para pekerja migran informal di Taiwan hanya mendapatkan upah NT$ 17.000 per bulan.

Jumlah ini jauh di bawah upah minimum pekerja formal di Taiwan yang mencapai NT$ 23.800 per bulan, laporan CNANews.

Menurut Jaringan Pemberdayaan Migran di Taiwan (MENT), para pekerja migran ini juga mendapatkan izin libur 1 hari dalam 1 minggu, namun para majikan dapat menggantinya dengan membayar NT$ 567 NTD kepada pekerja migran yang tidak mendapatkan izin libur.

Selain itu, berdasarkan UU ketenagakerjaan yang berlaku di Taiwan, para pekerja migran di sektor informal tidak berhak mendapatkan upah lembur per jam, pesangon, kompensasi kecelakaan kerja, ataupun tunjangan pensiun.

Sebelumnya, menurut koordinator MENT, Hsu Chun-huai pada tahun 2004 lalu, pihaknya telah mengajukan RUU ini ke dalam Hukum Pelayanan Rumah Tangga, namun RUU tersebut gagal.

Kini, pihaknya berharap agar RUU ini dapat kembali diperhatikan setelah legislator Hung Sun-han memberikan dukungannya dalam kasus ini.

Hsu mengungkapkan optimisme tentang nasib RUU tersebut di masa mendatang, mengutip meningkatnya kesadaran publik tentang peran vital pekerja rumah tangga migran dan peningkatan alokasi sumber daya pemerintah untuk perawatan jangka panjang, laporan CNANews.

Hingga akhir Oktober 2020 lalu, menurut data statistik dari Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan, sekitar sepertiga dari 700.000 pekerja migran di Taiwan dipekerjakan di sektor layanan rumah tangga.

foto : CNANews

Di akhir tahun 2017 lalu, MOL Taiwan menyatakan bahwa UU Standar Ketenagakerjaan di Taiwan tidak berlaku bagi PRT migran karena memiliki jam dan pola kerja yang berbeda dengan pekerja migran di sektor manufaktur dan bisnis.

Menurut MOL Taiwan, kondisi kerja para PRT migran, termasuk gaji dan jam kerja mereka didasarkan kontrak antara diri mereka masing-masing dan para majikan di Taiwan.

Sumber : 中央社, UDNNews, Taiwannews, CNANews, Focus Taiwan

Loading

You cannot copy content of this page