Kisah WNI Jalani Puasa di Turki, Alami Hal Unik dan Menarik!

Ramadhan menjadi bulan yang dianggap suci oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Tak hanya puasa, bulan ini juga erat kaitannya dengan sejarah maupun nilai-nilai penduduk suatu tempat. Turki juga memiliki tradisi dan kebudayaan tersendiri saat Ramadhan.

Berbeda dari daerah-daerah Indonesia yang hanya memiliki dua musim dan pergeseran waktu setiap harinya tidak terlalu terasa, Turki memiliki durasi puasa yang lebih panjang dan bisa berubah-ubah.

The Blue Mosque, di Istanbul Turki
foto : shutterstock

Hal ini disampaikan seorang pelajar S2 jurusan Jurnalistik di Selcuk University, Konya, Tezar Aditya Rahman. Laki-laki berusia 29 tahun ini tengah merasakan tahun ketiga berpuasa di negara itu.

“Waktu berpuasa setiap tahun ganti, karena semakin mendekat ke winter (musim dingin), waktunya semakin pendek. Kayak tahun lalu itu waktu puasanya 14 sampai 14 setengah jam,” kata Tezar, Minggu (10/4/2022).

“Tahun ini, dari 15 jam sampai nanti mendekati ke hampir 16 jam. Jadi mendekat ke summer (musim panas), waktunya akan semakin panjang, mendekat ke winter makin pendek, jadi beda setiap tahun,” tambahnya.

Oleh karena itu, menurutnya, waktu untuk sahur maupun berbuka di Turki sebaiknya setiap hari diperhatikan secara cermat.

“Misalnya kemarin azan jam 5.50, hari ini udah beda 5 menit jadi 5.45. Emang bener-bener cukup signifikan pergantian tiap harinya, jadi perlu diperhatikan,” lanjut dia.

Selanjutnya, ada kebiasaan unik warga Turki selama Ramadhan, yaitu membangunkan masyarakat untuk sahur dengan menabuh drum atau gendang.

“Ada culture (tradisi) yang hampir sama (kaya Indonesia), ngebangunin orang sahur pakai gendang,” kata Tezar.

Senada dengan Tezar, Alinda Putri Dewanti, atau akrab disapa Alin, mengatakan bahwa ada petugas yang membunyikan gendang untuk membangunkan penduduk untuk sahur.

“Ada penabuh drum pas sahur, meski tidak seramai di Indonesia,” ujar Alin, Jumat (8/4/2022).

Pelar S1 Jurnalistik di AHBV Universitesi, Ankara, ini sudah sekitar empat tahun berada di Turki, atau sejak 2017, dan pertama kali merasakan puasa pada tahun 2018.

Menurut perempuan berusia 22 tahun ini, sebagai salah satu tradisi Ramadhan tertua di Turki, selain membangunkan sahur, terkadang penabuh drum juga berkeliling di jalanan dan menyanyikan lagu rakyat Turki bersama para warga lainnya.

Dilansir dari The Culture Trip pada Senin (6/5/2019), penabuh genderang biasanya mengenakan kostum tradisional Ottoman, termasuk fez dan rompi yang keduanya dihiasi motif tradisional.

Sejumlah mahasiswa berkumpul di Turki
foto: Kompas

Alin menyebutkan, ada kebiasaan yang disebut Mahya, yaitu gantungan kata-kata yang terpampang di layar yang berada di antara dua menara masjid.

“Biasanya masjid-masjid di Turki kalau Ramadhan ada pasang tulisan di menara mereka, namanya Mahya. Kalau sekarang tulisannya bisa running text digital,” kata Alin.

Beberapa contoh kalimatnya seperti “Selamat Datang Bulan Ramadhan”, “Selamat Datang Bulan yang Diberkati”, dan “Selamat Datang Bulan yang Dimuliakan”.

Dilaporkan oleh Turkpidya, Mahya merupakan seni menulis, yang “ditulis” dengan lampu minyak berisi minyak zaitun di antara masjid-masjid dengan dua menara untuk mengekspresikan Ramadhan.

Sementara itu, disebutkan bahwa Mahya berasal dari Bahasa Persia “mahi”, yang artinya monthly atau bulanan. Hal itu mengacu kepada bulan suci Ramadhan dalam kalender Islam, dikutip dari Eskapas.

Pada zaman dahulu, kedatangan bulan Ramadhan diumumkan kepada masyarakat melalui cara ini. Masjid-masjid yang bersinar terang dengan lampu selama Ramadhan, ikut mencerminkan antusiasme menyambut bulan suci.

Jika Indonesia punya makanan khas lontong dan opor selama Ramadhan dan Idul Fitri, Turki juga memiliki hidangan khas bernama Pide Ramadhan atau Ramazan Pidesi.

“Menurut kita orang Indonesia itu roti biasa. Tapi menurut orang Turki, secara bentuk dan tekstur, itu makanan yang keluar saat bulan Ramadhan saja. jadi dimakannya sama sup atau yang lain, bedanya diolesin pakai telur,” Tezar menjelaskan.

Hampir sama, Alin mengatakan, roti khas Turki ini menjadi salah satu hal yang wajib tersedia di atas meja penduduk lokal selama bulan Ramadhan.

Pide yang terbuat dari bahan tepung putih, dimasak dengan cara dibakar di sebuah tungku dengan suhu yang hangat.

Selain Pide Ramadhan, ada juga manisan khas Turki yang biasa dihidangkan selama bulan Ramadhan.

“Güllaç adalah hidangan penutup Turki yang dibuat dengan susu, delima, dan kue khusus, disajikan khususnya pas bulan Ramadhan,” jelas Alin.

Mengutip Turkpidya, Güllaç banyak ditempatkan di toko roti maupun toko kue sebagai bentuk penyambutan Ramadhan.

Ilustrasi Mahya di menara masjid di Turki
foto: Eskapas

Makanan penutup manis yang terbuat dari susu dan rendah gula ini ditaburi delima dan buah-buahan di atasnya.

Selain beberapa yang sudah disebutkan sebelumnya, Turki juga memiliki sederet tradisi khas bulan Ramadhan yang lain.

Di antaranya pertunjukan wayang Hacivat dan Karagöz dan tradisi menembakkan bola meriam.

Sumber : The Culture Trip, Turkpidya, Eskapas

Loading

You cannot copy content of this page