Orang Asia di Amerika Jadi Was-Was Pasca Aksi Penembakan di Atlanta

Sebelum pandemi Covid-19 dimulai tahun lalu, orang-orang telah melihat aneh ketika Kyung Cho yang orang Asia berbicara dengan bahasa Inggris.

Hari ini, Cho merasakan perilaku orang Amerika Serikat terhadap Asian-Amerika seperti dirinya menjadi semakin tak bersahabat, seperti yang dilansir dari Reuters pada Kamis (18/3/2021).

“Menjadi lebih buruk,” kata Cho yang berprofesi sebagai tukang berusia 50 tahun, saat berada di toko kelontong Asia di pinggiran kota Atlanta pada Rabu (17/3/2021).

“Suatu hari saya berada di tempat parkir dan beberapa anak berteriak agar saya kembali ke China. Saya dari Korea,” ungkapnya.

Di seluruh Amerika Serikat (AS), banyak Asia-Amerika terkejut dengan berita penembakan di tiga spa dan di sekitar Atlanta pada Selasa malam waktu setempat (17/3/2021), yang menewaskan 8 orang, termasuk 6 wanita Asia.

Saat ini, pihak berwenang mengatakan tersangka adalah laki-laki kulit putih berusia 21 tahun, yang memberitahu mereka bahwa dia mengalami kecanduan seks dan serangan itu mungkin tidak memiliki motivasi rasial.

Setelah setahun, di mana laporan kejahatan rasial terhadap orang Asia-Amerika telah meroket, penembakan di Atlanta memicu kemarahan, ketakutan, dan tuntutan baru untuk tanggapan dari pemerintah.

“Kami dikepung,” kata Russell Jeung, profesor Kajian Amerika Asia di Universitas Negeri San Francisco dan pendiri Stop AAPI Hate, koalisi yang melacak kekerasan anti-Asia selama pandemi Covid-19.

“Seluruh komunitas mengalami trauma,” ucapnya. Lily Huynh (24 tahun) mengatakan dia kesal dengan kematian para wanita di Georgia.

Dia mengatakan, semakin khawatir kalau ibunya yang seorang imigran dari Vietnam dan memiliki salon kuku di Mesquite, Texas, dapat menjadi sasaran kebencian oknum masyarakat terhadap Asia-Amerika, karena aksen dan kewarganegaraan ibunya yang kental.

“Anda memikirkan wanita-wanita ini, dan Anda tahu ibu Anda sendiri bisa jadi mereka,” kata Huynh cemas.

Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (16/3/2021), sebelum penembakan, lembaga koalisi mengatakan telah menerima 3.795 laporan insiden kebencian antara Maret 2020 dan Februari 2021.

Mayoritas diskriminasi, seperti pelecehan verbal dan pengucilan, dengan perempuan melaporkan insiden itu terjadi sekitar 2 kali lebih sering dari pada laki-laki.

Sebuah studi yang diterbitkan awal bulan ini oleh Center for the Study of Hate and Extremism, sebuah pusat penelitian nonpartisan, menunjukkan bahwa kejahatan rasial mengalami peningkatan terhadap orang Asia-Amerika.

Di 16 kota besar AS jumlahnya naik 149 persen dari tahun 2019 hingga tahun 2020, sementara kejahatan rasial secara keseluruhan turun 7 persen dalam periode waktu yang sama.

Para pendukung komunitas mengatakan lonjakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh orang Asia-Amerika yang disalahkan atas virus corona, yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China pada akhir 2019.

Lalu, mantan Presiden AS Donald Trump berulang kali menyebut Covid-19 sebagai “Virus China” dan Retorika “kung flu”, dianggap oleh beberapa orang sebagai sentimen anti-Asia yang dikobarkan.

Hampir setengah dari insiden kebencian anti-Asia yang dicatat oleh Stop AAPI Hate terjadi di California, di mana orang Asia-Amerika mencapai sekitar 15 persen dari populasi negara.

Ronald Lisam, seorang China-Amerika berusia 45 tahun yang sedang berbelanja bahan makanan di Pecinan San Francisco pada Rabu (17/3/2021), mengatakan dia mulai mempertanyakan keselamatannya di tempat umum.

“Setiap hari saya khawatir diserang, dirampok,” ungkapnya. Para pemimpin Asia-Amerika pada Rabu (17/3/2021) meminta pejabat pemerintah berbuat lebih banyak untuk melindungi dan mendukung komunitas mereka.

Tagar #StopAsianHate beredar luas di media sosial. Komite DPR AS merencanakan sidang pada Kamis (18/3/2021) untuk membahas masalah tersebut.

“Orang Asia-Amerika takut meninggalkan rumah mereka, dan bukan hanya karena penyakit (Covid-19),” kata kata Frank Wu, presiden Queens College, City University of New York, yang mempelajari diskriminasi anti-Asia di Amerika Serikat.

Ia menerangkan kemudian, “Mereka takut meninggalkan rumah karena ada risiko nyata, hanya berjalan di jalan mengurus urusan Anda sendiri, bahwa Anda akan disalahkan atas pandemi global dan orang-orang akan mengejar Anda.”

Sumber : Click On Detroit | Local 4 | WDIV, Reuters, Guardian News, CBS This Morning

Loading

You cannot copy content of this page